Antroposentrisme dan Metode Pertanian, Sebuah Dilema dalam Mengatasi Permasalahan Lingkungan

Share:

PENGARUH ANTROPOSENTRISME TERHADAP METODE PERTANIAN DI DESA SUKATANI, CIANJUR, JAWA BARAT
Ditinjau dari pemikiran Aldo Leopold

Diajukan sebagai tugas Mata kuliah Filsafat Lingkungan Hidup
yang dibina oleh Dr. Saraswati Dewi



Oleh
Ega Haikal Witomo, 1406563973
Nurmalia Ratnasari, 1406537306
Yusuf Cahya Aditya, 1206267646


FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
April, 2017



DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
I.II Rumusan Masalah
I.III Tujuan Penelitian
I.IV Jenis Penelitian
I.V Metode Analisa
BAB II
ISI
II.I Antroposentrisme
II.II Kritik Aldo Leopold terhadap Antroposentrisme
II.III Etika Tanah (Land Ethic)
BAB III
HASIL PENELITIAN
III.I Hasil Wawancara
III.II Produk Organik vs Produk Anorganik
III.III Refleksi Penulis
BAB IV
PENUTUP
IV.I Kesimpulan        
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN



BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang
Makalah penelitian ini lahir dari adanya kegelisahan atas nasib lingkungan hidup yang terus menerus mengalami penurunan kualitas. Hal tersebut tentu berimbas terhadap kelangsung hidup biota yang ada didalamnya termasuk hewan, tumbuhan bahkan manusia sendiri. Adapun penyebab utama terjadinya krisis lingkungan hidup disinyalir menjadi tanggung jawab manusia yang kini seringkali disebut sebagai tokoh utama dalam skema keberlangsungan hidup. Tanggung jawab tersebut lahir dalam ruang rasio manusia yang menyadari bahwa ada kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir dalam mengartikan lingkungan hidup sebagaimana mestinya.
Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah prilaku manusia itu sendiri, khususnya persoalan tentang hakikat dari alam semesta serta kehidupan yang ada didalamnya. Pemahaman tersebut akan sangat berpengaruh atas bagaimana nasib keberlanjutan dari siklus kehidupan di bumi ini. Kesalahan paradigmatik dalam mengelolah dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya akan menghasilkan sifat arogan dari manusia yang terus ingin mengeksploitasi alam. Menurut Aldo Leopold, bumi dan segala isinya berperan sebagai subjek moral yang harus dihargai, tidak untuk diekspoitasi bahkan dianggap sebagai komoditas unggulan  yang bernilai tinggi bagi keuntungan manusia perindividu semata.
Rangkaian perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan telah menunjukkan bagaimana loncatan pemahaman manusia tentang hakikat alam semesta, yang sekaligus mempengaruhi budaya dan cara hidup manusia di zaman yang telah modern ini. Alam akan terus dikuantifikasi dan diukur dengan rumus-rumus dalam persepektif ekonomi demi meningkatkan kualitas hidup dari manusia. Karena itu, terjadinya bencana alam menjadi suatu yang ‘niscaya’ karena pada dasarnya kita sebagai manusia telah salah dalam memandang alam sebagai sebuah komoditas. Fenomena rusaknya lingkungan hidup menghadirkan persoalan etika yang begitu rumit. Meskipun pada dasarnya manusia menyadari bahwa alam punya pengaruh besar atas keberlangsungan kehidupnnya, tetapi pada kenyataannya manusia terus mengekpoitasi alam tanpa mempertimbangkan apa dampaknya dalam keberlanjutan kehidupan yang akan datang.
Hal tersebut senada dengan masalah yang kami temui dalam metode pertanian yang diterapkan oleh para petani di desa Suktani, Cianjur, Jawa Barat. Pertanian konvensional yang masih mengandalkan pestisida dan pupuk sintesis dalam memberantas hama masih menjadi hal yang lumrah bagi para petani di wilayah ini. Padahal pada praktiknya selama puluhan tahun telah banyak ditemui kerugian yang muncul seperti rusaknya lahan pertanian dan hasil pertanian yang berkualitas buruk.
Efektifitas dan efisiensi disinyalir merupakan salah satu aspek yang menjadi pertimbangan para petani yang masih melakukan pertanian konvensional. Pola pikir antroposentrisme masih mendominasi pemikiran petani. Alam hanya dilihat sebagai sumber daya mati untuk membangun peradaban manusia. Sudah saatnya manusia meninggalkan pola pikir antroposentris demikian, karena hal tersebut akan menimbulkan petaka tidak hanya pada alam sebagai objek eksploitasi manusia, namun juga kelak akan berbalik kepada manusia itu sendiri.
Dalam hal ini, kami menilai sistem pengolahan lahan secara organik merupakan sistem pertanian yang melampaui antroposentrisme, karena mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintesis dan merupakan cara bertani yang ramah lingkungan. Namun, pada praktiknya, pengolahan ini pun masih meninggalkan dilema yang cukup pelik bagi petani sebagai pihak yang mengolah secara langsung, diantaranya proses pengolahannya yang lama, mahal, dan rumit. Sehingga, banyak petani yang menyadari dampak-dampak dari pengolahan konvensional namun tidak mampu berbuat banyak dalam menyelamatkan bumi dan diri mereka sendiri.

I.II Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan antroposentrisme dalam lingkup filsafat lingkungan hidup?
2.      Apa kritik Aldo Lepold terhadap persoalan antroposentrisme?
3.      Apa yang dimaksud dengan Etika Tanah (Land Ethic)?
4.      Apa dilema pengolahan lahan pertanian organik dan anorganik?

I.III Tujuan Penelitian
1.      Menjelaskan pengertian antroposentrisme dalam lingkup filsafat lingkungan hidup
2.      Memaparkan kritik Aldo Leopold terhadap persoalan antroposentrisme
3.      Menjelaskan Etika Tanah (Land Ethic)
4.      Memaparkan dilema pengolahan lahan pertanian organik dan anorganik

I.IV Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada makalah ini adalah penelitian kualitatif. Dalam Moleong (2002: 9) Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

I.V Metode Analisa
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain (Sugiyono, 2008: 244).
Dalam penelitian mengenai topik “Sebuah Dilema: Pengolahan Lahan Pertanian Organik dan Anorganik” yang kami usung,kami menggunakan metode dokumentasi berupa pencarian data melaui proses kepustakaan, yakni berdasar atas pengumpulan data melalui telaah buku dan telaah jurnal-jurnal ilmiah, serta wawancara langsung sebagai sumber utama yang menjadi acuan.



BAB II
ISI

II.I Antroposentrisme
Antroposentrisme (antropos = manusia) adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Pandangan ini menekankan manusia sebagai yang paling utama dan makhluk atau benda lainnya tidak. Dalam persoalan lingkungan hidup, Keraf (2010: 47) mengungkapkan bahwa antroposentrisme merupakan teori mengenai etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Hal ini sangat mudah terlihat dari bagaimana manusia sebagai pusat atau yang menguasai itu menaklukan alam dengan perilaku-perilaku yang didasarkan pada prinsip utulitas yang timpang, mengobjekkan alam sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Hal ini juga berlaku sampai pada aspek moral, dengan memosisikan bahwa prinsip moral dan etika hanya berlaku bagi manusia, kalaupun tuntutan akan kewajiban memerlakukan alam secara etis itu ada, maka hal itu juga semata-mata demi manusia dalam memenuhi kebutuhannya melalui kelestarian alam. Melepaskan alam dari eksploitasi sebagai perwujudan atas perbuatan moral untuk keberlangsungan manusia, sebuah gagasan etis terhadap lingkungan hidup yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics).
Ditelusuri, gagasan antroposentrisme ini muncul dan berkembang berawal dari pandangan dualisme Cartesian. Descartes mengungkapkan bahwa semata-mata yang ada hanyalah aku yang berpikir (cogito ergo sum) yang mensyaratkan keberadaan akan aku sebagai subjek yang berpikir dalam kata lain berkesadaran. Dari gagasan tersebut, manusia mulai melakukan pemujaan akan kemampuan akal budi yang dimilikinya, dan alam dianggapnya tidak memiliki nilai yang setara apalagi melebihi keagungan manusia dengan perangkat akal budinya tersebut. Keraf (2014: 56) menegaskan bahwa cogito ergo sum dari Descartes benar-benar merasuki seluruh cara pandang Barat baik terhadap pemahaman akan diri manusia maupun terhadap pemahaman mengenai alam semesta seluruhnya. Dengan ini, manusia direduksi seakan hanya identik dengan kemampuan rasionalnya, sementara sisi tubuh, perasaan dan intuisi yang menyertai dan dialami oleh tubuh dinegasi dan dinafikan sebagai tidak penting.
Descartes sangat mengandalkan penalaran analitis, yang merupakan salah satu kontribusinya yang besar bagi ilmu pengetahuan modern. Penalaran analitis lalu menjadi ciri dominan dari ilmu pengetahuan modern yang menuntut kita untuk menguraikan semua pemikiran dan masalah secara rinci untuk kemudian ditata dalam sebuah rangkaian pemahaman yang logis dengan hanya mengandalkan akal budi (Keraf, 2014: 60).
Dengan hal tersebut, Descartes memangdang materi secara lebih rendah dan menyetarakan semesta yang merupakan materi tadi keberadaannya tidak lebih dari sekedar mesin. Dalam Keraf (2014: 61) penyetaraan ini menunjukkan seolah dalam semesta atau materi tidak ada tujuan, kehidupan, atau roh. Alam bekerja menurut hukum yang mekanistis dan segala sesuatu di dunia material dapat dijelaskan dan diprediksi sesuai dengan rancangan simbol paling popular dari gambaran tentang alam semesta ini.
Pada halaman 57 Keraf (2014) mengungkapkan pernyataan Fritjof Capra dalam The Turning Point (tahun: 23) yang menegaskan bahwa “Pemisahan antara tubuh dan jiwa melahirkan pandangan tentang alam semesta sebagai sebuah sistem mekanistis yang terdiri dari objek-objek terpisah, yang pada gilirannya direduksi kepada potongan-potongan material dasar yang keseluruhan ciri dan dan interaksinya dianggap menentukan sepenuhnya seluruh fenomena alam”. Sejak saat itu, gambaran tentang alam semesta sebagai sebuah mesin menjadi sedemikian mendominasi cara pandang Barat dan dunia pada umumnya, justru karena pengaruh Descartes. Pandangan tersebut kini kita kenali sebagai istilah antroposentrisme.
Atas hal tersebut, antroposentrisme kini sudah mewujud sebagai akar penyebab dari krisis lingkungan hidup. Cara pandang ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada kelestarian alam. Dalam Keraf (2010: 49), cara pandang inilah yang kini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia.
II.II Kritik Aldo Leopold terhadap Antroposentrisme
Aldo Leopold adalah seseorang yang memperkenalkan istilah Etika Tanah (Land Ethics) dan seseorang yang mencintai alam liar. Didalam bukunya yang berjudul A Sand County Almanac, ia mengkritik para konservasionis yang dinilainya belum memahami konsep dasar tentang konservasi.  Pola pikir yang bersifat antroposentrik menyebabkan konservasi hanya dilihat sebagai tindakan etis untuk kepentingan manusia saja. Leopold memberikan sumbangan yang besar bagi kemajuan ekologi karena ia secara lugas membahas kekacauan perspektif manusia yang melihat alam hanya sebagai properti.
Bagi Leopold, perkembangan teknologi dan peradaban tidak sejalan dengan kesadaran manusia dalam memahami keseimbangan alam. Manusia justru menerima secara dangkal bahwa alam merupakan sumber daya untuk membangun peradaban manusia. Alam dilihat hanya sekedar bahan mentah dan benda mati belaka. Selama ratusan tahun, doktrin antroposentris semacam ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Dengan keunggulan rasionya, manusia merasa berhak untuk menaklukan dan mengeksploitasi alam. Sehingga, tulisan Leopold berusaha untuk memulihkan prasangka antroposentrik yang sudah menjadi ideologi yang tidak dipertanyakan lagi.
Konservasi merupakan suatu tindakan manusia untuk melestarikan alam yang dalam kerangka pikir antroposentrik dilakukan demi kepentingan manusia. Leopold mengkritik pandangan awam seperti ini tentang konservasi. Leopold menilai alasan semacam itu tidak lagi memadai sebagai dasar konservasi. Karena pengrusakan akan tetap terjadi apabila konsep dasar konservasi masih berdasarkan kerangka pikir antroposentrik. Terutama pada hewan dan tumbuhan yang tidak memiliki nilai ekonomis bagi manusia. Ditambah lagi, pandangan tersebut masih berlandaskan pada manusia sebagai makhluk yang paling berhak menguasai alam.
Komunitas biotik saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini dapat dengan mudah dijelaskan melalui ilustrasi piramida tanah. Kehidupan ini dapat dilihat sebagai aliran energi. Sebagian besar energi kehidupan di bumi berasal dari matahari, manusia dan hewan tidak bisa memanfaatkan energi matahari ini secara langsung. Hanya tumbuhan yang dapat menyerap energi matahari dan digunakan untuk metabolisme hingga akhirnya memberi kehidupan pada tumbuhan. Kemudian energi yang dimiliki oleh tumbuhan ditransfer pada hewan tingkat rendah yang hanya mampu memakan tumbuh-tumbuhan seperti serangga. Lalu serangga yang memperoleh energi dari tumbuhan dimakan oleh burung dan hewan yang berada diatasnya hingga mencapai lapisan puncak yang didominasi karnivora raksasa.
Kesimpulan yang dapat diambil dari ilustrasi piramida tanah diatas adalah bahwa adanya ketergantungan lapisan hewan dan tumbuhan yang tumbuh dalam satu komunitas biotik. Manusia yang melakukan konservasi berdasarkan kerangka pikir antroposentrik seringkali mengabaikan tumbuhan-tumbuhan yang tidak memiliki nilai ekonomis pada manusia. Padahal tumbuhan-tumbuhan tersebut diperlukan agar aliran energi tidak terganggu pada komunitas biotik. Terganggunya aliran energi yang terjadi pada komunitas biotik cepat atau lambat akan berdampak pada organisme lainnya yang mengakibatkan kepunahan yang pada akhirnya manusia sendiri yang akan merasakan kerugian  atas hal tersebut.

II.III Etika Tanah (Land Ethic)
Etika Tanah atau Land Ethic merupakan teori etika lingkungan hidup yang dilontarkan oleh seorang ahli kehutanan terkemuka bernama Aldo Leopold. Land Ethic muncul ketika bumi mengalami krisis lingkungan hidup yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern. Inti dari Land Ethic terdiri dari dua prinsip dasar. Prinsip yang pertama berkaitan dengan cara pandang manusia terhadap alam itu sendiri yang cenderung diskriminatif. Alam dipandang sebagai objek, kiranya seperti peristiwa perbudakan pada zaman dahulu disaat seseorang yang lebih lemah hanya dipandang sebagai “alat” untuk menjamin kualitas hidup segelintir orang yang berkepentingan atas kehadirannya. Aldo Leopold mencoba untuk mendobrak cara pandang yang hanya melihat bumi dan segala isinya sebagai objek dalam relasi ekonomis dan hanya mempunyai fungsi ekonomis bagi kepentingan manusia.
Aldo Leopold mengkalim bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang ada di bumi ini mempunyai nilai pada dirinya sendiri, terlepas dari berkaitan atau tidaknya dengan kehidupan manusia. Bumi seharusnya tidak dinilai sebagai properti semata, melainkan subjek moral yang sama derajatnya dengan manusia, dan karena itu manusia tidak sepantasnya untuk menganggap alam sebagai objek penunjang untuk kehidupan manusia.
Pada prinsip yang kedua, Aldo leopold memperluas gagasan etika untuk mencangkup bumi dan keseluruhan biota di dalamnya. Dengan perluasan ini, komunitas moral kini tidak hanya dibatasi pada komunitas manusia saja, melainkan keseluruhan dari alam semesta. Bagi Leopold, komunitas biotis juga termasuk komunitas etis. Dalam pengertian awal, etika hanya berlaku pada manusia yang mempunyai nilai kebebasan tersendiri.
Bagi Leopold, saling ketergantungan antara komunitas biota yang termasuk manusia didalamnya menjadi bahan pertimbangan untuk menciptakan teori ini. Manusia pada kenyataannya justru mempunyai ketergantungan yang tinggi dari banyak komunitas biota yang ada di bumi ini. Namun, perlu diketahui juga bahwa eksistensi dari makhluk hidup lainnya bukan hanya sekedar bernilai untuk manusia saja, keterkaitan antara biota-biota tersebut telah membentuk suatu bentuk rantai makanan yang bersifat simbiotis. Bagi Leopold, manusia boleh saja menebang pohon ataupun membunuh binatang tertentu untuk memenuhi kebutuhannya asalkan tindakan tersebut tidak menganggu dan merusak stabilitas komunitas biota lainnya.



BAB III
HASIL PENELITIAN

III.I Hasil Wawancara
Bapak Abidin, adalah seorang petani berusia 42 tahun yang bertempat tinggal di wilayah kaki Gunung Pangrango, Desa Gunung Putri Cipanas, Cianjur, Jawa Barat. Pak Abidin merupakan satu diantara banyak petani yang melakukan pengolahan lahan secara anorganik di wilayah tersebut. Selama hidupnya, Pak Abidin mengaku sudah banyak berkecimpung pada dunia pengolahan lahan. Ia satu diantara yang sudah mencoba berbagai metode, mulai dari metode organik, hidroponik, hingga kini bertahan dengan cara yang ia sebut konvensional, yaitu anorganik.
Keputusan Pak Abidin untuk kini menekuni pengolahan anorganik disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor perawatan metode organik cukup rumit, lama panen, harga jual, serta paling penting faktor pemasaran. Untuk mengolah lahan secara organik, memerlukan ketelitian dan ketekunan yang lebih besar karena selain serangan hama yang memerlukan perawatan khusus, seperti memasang pagar bambu, menanam bawang di pinggiran lahan, menanam tomat guna menahan hama, serta banyak lagi. Hal ini berbeda dengan pengolahan lahan secara konvensional yang hanya perlu menyemprotkan pestisida serta obat-obat kimia lainnya guna mengusir dan membunuh hama. Selain itu, Pak Abidin menekankan bahwa faktor pemasaran menjadi peritmbangan utama untuk meninggalkan pengolahan organik, “Untuk menanam dengan cara organik, selain harus terencana dengan baik, kita itu perlu relasi untuk marketingnya. Kalo di pasar biasa mah atuh engga bisa laku, mana percaya juga kalo ini organik atau bukan organik, orang carinya yang murah dan bagus-bagus. Kalo organik kan bisa empat kali lipat harganya dan jelek-jelek kan ga semulus yang konvesional begini,” ungkapnya.
            Terkait persoalan kondisi tanah, Pak Abidin juga mengungkapkan bahwa dengan cara anroganik keadaan tanah menjadi buruk karena banyak mikroorganisme yang menyuburkan tanah ikut musnah. Sehingga untuk lahannya, Pak Abidin menggunakan bibit organik dan melanjutkan dengan memberikan air kencing kelinci guna mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, sebagian metode organik yang masih dilakukannya dapat juga mengembalikan tingkat resistensi hama.
Saat kami bertanya, disekitar sini apakah ada lahan yang diolah dengan cara organik, ia menyebutkan ada di satu tempat. Tetapi, ia mengungkapkan bahwa tidak mungkin yang dihasilkan itu benar-benar organik, sebab lahan yang diolah secara organik harus jauh dari lahan anorganik. Pestisida selain bercampur menghasilkan residu pada hasil olahan, tanah, ia juga bercampur dengan udara dan air. Sehingga, tidak memungkinkan mengolah lahan secara organik ditengan-tengah lahan yang diolah secara anorganik. Jadi baginya, tidak pernah ada lahan yang benar-benar diolah secara organik di daerah Cianjur ini. Dilema memang.

III.II Produk Organik vs Produk Anorganik
Barangkali pemahaman yang paling mudah diketahui masyarakat awam tentang produk pangan organik adalah produk pangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi yang bersifat alami atau terbebas dari asupan bahan kimia an organik, terutama pupuk maupun pestisida berbahan kimia an organik. Produk pangan yang dihasilkan dari sistem pertanian organik dinyatakan lebih sehat, lebih aman, kandungan gizi dan komponen bioaktifnya lebih beragam, serta kandungan unsur kimia yang dibutuhkan tubuh lebih tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, dari segi organoleptik dipastikan bahwa pangan organik lebih baik terutama dari segi cita rasa, karena dihasilkan dari sistem pertanian yang sangat bersahabat dengan lingkungan serta sangat memperhatikan ecological, economical, sociological sustainability.
Beberapa jenis produk organik sejauh ini semakin beragam tersebar dipasaran produk pangan, antara lain berupa bahan pangan pokok (Beras dan Palawija), buah-buahan, sayuran, rempah dan herbal, Ayam organik, Susu dan yogurt kambing organik, Produk perkebunan organik (Vanilla, VCO, mete, kopi, teh, kayu manis).
Sejalan dengan semakin merebaknya keberadaan produk pangan organik di berbagai outlet, ternyata produk pangan non organik pun keberadaannya tidak berkurang. Berbagai keunggulan dan kelemahan dari kedua jenis produk tersebut sejauh ini semakin banyak dibicarakan dan menjadi bahan diskusi yang menarik. Sekarang pilihannya sangat tergantung kepada hati nurani kita semua sebagai konsumen yang membutuhkannya (Purnama, 2014).

III.III Refleksi Penulis
            Kondisi dilematis yang terjadi dalam metode bercocok tanam memang bukan hanya berputar pada tingkat kesulitannya, tapi kondisi ekonomi sang petani juga jadi bahan pertimbangan seorang petani untuk memutuskan sebuah metode penanaman dalam lahan pertanian. Selain membutuhkan lahan yang lebih luas dari pertanian/perkebunan konvensional, pertanian organik membutuhkan modal bertani yang lebih banyak daripada pertanian konvensional. Kondisi lingkungan dari pertanian organik pun harus jauh dari pertanian konvensional demi menghindari efek pestisida yang biasanya dapat terbawa oleh udara sehingga mencemari tanaman organik.
            Jika kita tinjau dari segi penghasilan hasil panen, pertanian organik memang menjanjikan dengan harga yang lebih mahal daripada hasil pertanian konvensional. Namun, pertanian organik membutuhkan lama waktu panen lebih lama daripada pertanian konvensional. Dari jangka lama waktu panen tersebut, pertanian organik juga mendapatkan masalah dalam menghadapi kepastian masa panen, diantaranya adalah ketergantungannya pertanian organik pada serangan hama dan kondisi iklim yang semakin tidak menentu.
            Jika ditinjau dari kondisi perekonomian petani-petani yang ada di Indonesia, logis jika mereka memilih untuk bertani secara konvensional. Pertanian konvensional pada dasarnya memang mendatangkan penghasilan yang menjanjikan karena ketahanan tanaman lebih kuat dan masa panen dapat diprediksi lebih akurat dari pada pertanian organik. Oleh karena itu, kondisi perekonomian petani atau buruh tani pun dapat terpenuhi dengan baik.
            Pada realitanya, para petani konvensional pun mengerti akan filosofi pertanian organik yang bertujuan demi kelestarian alam sehingga keberlanjutan pertanian pun dapat terjamin. Namun yang terjadi adalah mereka masih terbentur dengan masalah ekonomi. Selain itu, penguasaan pasar pertanian organik juga telah dikuasai oleh pertanian-pertanian besar, sehingga petani biasa seakan-akan tidak lagi memiliki peluang untuk dapat mengalihkan metode pertaniannya ke pertanian organik.
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pemasaran produk pangan organik selama ini adalah:
Masalah dari segi Supply:
1.      Terbatasnya jumlah supplier produk organik di Indonesia
2.      Kurangnya pemahaman filosofi organik di kalangan petani (terbentur kondisi ekonomi)
3.      Keaslian produk organik (dibutuhkan sertifikasi )
4.      Supply tidak konsisten (sering putus) baik dari kualitas, kuantitas dan kontinuitas
5.      Penanganan pasca panen yang kurang baik (mutu turun dan kehilangan sifat organik)
6.      Kurangnya kerjasama antara supplier dan supermarket (resiko waste)
Masalah dari segi Pemasaran:
1.      Kurangnya pengetahuan dan pemahaman konsumen soal produk organik
2.      Penampilan produk dan packaging kurang menarik di mata konsumen
3.      Harga lebih mahal dari produk anorganik
4.      Kurang gencarnya promosi
5.      Masalah dari segi konsumen
6.      Faktor eksternal (produk organik import)



BAB IV
PENUTUP

IV.I KESIMPULAN
Antroposentrisme telah menjadi sebuah masalah serius dan akan bertambah parah ketika kita tidak dapat memahaminya secara mendalam. Hal tersebut memang akan terlihat begitu naif untuk dipersoalkan mengingat kita juga terikat oleh kehidupan yang besifat antroposentrik. Masalah ini senada dengan apa yang kami temukan dalam penelitian kali ini di bidang pertanian khususnya diwilayah Gunung Putri, Cianjur, Jawa Barat. Masyarakat didaerah tersebut telah lama mengabdi dalam bidang pertanian. Kondisi perekonomian merekapun sangat bergantung pada hasil panen.
Kebanyakan petani didaerah ini telah mengalami masa transisi metode pertanian. Diantaranya adalah Pak Abidin yang juga sebagai narasumber kami. Sejauh ini, pertanian konvensional menjadi pilihan utama yang dipilih oleh kebanyakan petani, dikarenakan hasil panen yang lebih menjamin kepastian demi keberlanjutan perputaran roda kehidupan mereka. Selain itu, hasil pertanian konvensial juga lebih mudah untuk memasuki pangsa pasar. Selain harganya yang lebih murah, hasil pertanian konvensional juga memiliki bentuk yang ideal karena pertumbuhannya yang berlangsung dengan baik. Produksi pertanian konvensional juga sejauh ini telah banyak dibantu oleh perkembangan teknologi dan metode pertanian yang kini menjadi semakin modern.  
Pada kenyataannya, teknologi bukanlah sesuatu yang buruk, diciptakannya teknologi berfungsi untuk membantu dan mempermudah kehidupan manusia sehari-hari termasuk bertani/bercocok tanam. Optimalisasi pengelolaan lahan pertanian dengan basis teknologi modern dapat menjadi kunci sukses dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Untuk dapat mencapai hasil yang optimal, penggunaan berbagai peralatan modern harus segera diterapkan. Modernisasi bukan berarti menghilangkan konsep tradisional pengelolaan pertanian, tetapi dengan menerapkan teknologi pertanian dapat memberikan hasil yang lebih baik dan lebih banyak. Selain itu, petani juga mendapat nilai tambah yang besar. Produktivitas menjadi tinggi, efisien, beban ongkos petani rendah, dan nilai tukar petani akan meningkat.
Namun, kehadirannya tetap harus dicurigai karena hadirnya tetap akan menyentuh seluruh aspek dari kehidupan ini termasuk alam . Walaupun bersifat profitable untuk manusia, teknologi cenderung memiliki aspek negatif terhadap alam, teknologi jugalah yang menciptakan munculnya ruang lingkup kehidupan antroposentris, dari disini kita akan melihat bahwa lahirnya teknologi telah memberi jarak kehidupan antara manusia dengan alam.Sebuah dilema muncul ketika konsep pemilihan metode pertanian ini terbentur dengan aspek kebutuhan perekonomian dari masing-masing petani yang kami temui. Pertanian dengan cara konvensional memang menjadi sebuah pilihan yang paling realistis.
Telah diketahui bahwa penggunaan pupuk kimia/pestisida sebagai pengusir hama dapat membahayakan kondisi lingkungan alam sekitar, diantaranya;
·         meningkatkan resistensi si hama sendiri terhadap pestisida yang digunakan oleh petani, sehingga racun yang dibutuhkan untuk mengusir hama harus bertambah kuantitasnya
·         menurunkan tingkat kesuburan tanah, hal ini akan terjadi jika penggunaan pestisida telah berada diambang batas sehingga tanah menjadi kering dan terjadinya erosi. Selain itu, aktivitas pertanian pun menjadi ancaraman serius bagi kelangsungan pertanian itu sendiri.
·         Tercemarnya udara, zat-zat negatif yang terdapat dalam kandungan pestisida juga melekat pada udara dalam radius penggunaan. Walaupun tak sampai membunuh manusia, tetapi racun pestisida yang terbawa oleh udara dapat mencemari tanaman lainnya sehingga terjadi efek tumpang tindih.
·         Terganggunya ekosistem dikarenakan zat negatif yang terdapat dalam pestisi tidak hanya dapat membunuh hama saja, tetapi biota-biota yang ada disekitar ikut terancam mati
Metode pertanian secara konvensional tersebut secara tidak langsung telah menyumbangkan potensi atas kerusakan alam yang semakin hari semakin memprihatinkan. Bentuk dominasi manusia merupakan sebuah benang merah yang kita dapatkan dari hasil penelitian kali ini. Pengaruh dominasi tersebut adalah implikasi dari berkembangnya gaya hidup antroposentris.
Aldo Leopold beranggapan bahwa manusia sejatinya merupakan bagian dari piramida kehidupan, tetapi mereka telah dianugrahi kekuatan yang sejatinya dapat memperbaiki ataupun merusak bagian lain dari piramida dan mengancam seluruh dari keutuhan bangunan, termasuk dengan sesama manusia. Menurut Leopold, pemberdayaan tanah yang dilakukan oleh manusia sangat penting untuk ditinjai kembali secara ilmiah, estetis, etis dan bukan hanya atas dasar kemanfaatan ekonomi semata. “Etika tanah hanyalah memperluas batas dari komunitas kehidupan secara kolektif termasuk lahan, air, tumbuhan, dan hewan. Mengubah peranan homo sapiens dari penakluk atas komunitas tanah, menjadi anggota biasa dan warga darinya”.[1]
Manusia yang sadar atas eksistensinya akan menyelesaikan masalah kehidupan yang pada kenyataannya mulai kritis akibat dari manusia itu sendiri. Manusia harus lebih banyak mengenal lingkungan hidupnya secara menyeluruh (temasuk alam di dalamnya), istilah “kembali ke alam” mungkin terlalu utopis, tapi setidaknya manusia tidak memisahkan diri sebagai kesatuan komunitas kehidupan sehingga keseimbangan alam kembali terjaga. Dengan ini, manusia memang harus merekonstruksi pola pikirnya terhadap alam dan menggunakan teknologi hanya dalam skema bertahan hidup, bukan untuk mengexploitasi alam sebagaimana yang telah terjadi. Alam pada kenyataannya memang membutuhkan perhatian lebih dari manusia sebagai agen moral yang mampu merubah arah kehidupan. 



DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Saras. 2015. Ekofenomenologi. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri.
Keraf, Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Keraf, Sony. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius.
Leopold, Aldo. 1949. A Sand County Almanac. New York: Oxford University Press.
Moleong, Lexay J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Purnama, Siti. 2014. Penerapan Sistem Pertanian Organik pada Sub Sektor Perkebunan. Desember 2, 2014
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit ALFABETA.

No comments