Penelitian Singkat Tentang Relasi Manusia dan Alam (TNGP)

Share:
Penelitian Singkat
Relasi Manusia dan Alam dari Sudut Pandang Pendaki Gunung di Indonesia
Picture From Google Image
Pengantar
Manusia merupakan “animal rationale” yang berarti hewan yang dapat berpikir atau mempunyai akal budi. Perbedaan atas kepemilikan “kemampuan berpikir” ini memberikan dampak yang signifikan dan memunculkan hirarki dalam strata kehidupan, manusia memiliki rasio sehingga dapat menentukan pilihan yang ada dihadapannya dan mengetahui resiko kedepannya atas apa yang telah dia perbuat (course of action). Adanya kebebasan dalam menentukan pilihan menjadi dilema tersendiri bagi manusia dalam berkehidupan sehari-hari dan dari dilema tersebut akan muncul suatu koreksi atas tindakan yang dipilih, koreksi yang dimaksud berkaitan dengan relasi dan tanggung jawab yang merupakan perpanjangan dari sebab dan akibat yang muncul dari sebuah keputusan.
Manusia  sejatinya bebas untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan kehendak dan dalam penilaiannya sendiri. Namun, hal tersebut akan berbenturan dengan relasi kehidupan yang lainnya. Oleh karena itu, kebebasan yang dimiliki oleh manusia harus didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang demi terciptanya keselarasan dalam berkehidupan. Hirarki yang dimaksud dalam penyebutan diatas muncul dari kepemilikan kemampuan berpikir pada manusia yang tidak dimiliki oleh spesies-spesies lainnya sehingga timbul efek dominasi yang berdampak negatif bagi keseimbangan kehidupan dan alam. Meskipun pada kenyataannya manusia adalah makhluk rasional, namun manusia tetap termasuk dalam komunitas kehidupan yang ada didunia ini yang juga berarti tidak dapat terpisahkan oleh jenis spesies yang lainnya. Menjadikan rasionalitas sebagai sebuah keistimewahan merupakan kesalahan besar.

Aktifitas Mendaki Gunung
Picture From Google Image
Mendaki gunung dapat disebut sebagai cabang olahraga ekstrim yang pada kenyataannya dibutuhkan fisik, mental dan persiapan yang matang untuk dapat bertahan hidup di alam liar. Hal tersebut didukung oleh kondisi jalur pendakian yang panjang dan menguras tenaga, cuaca dan suhu yang jaueh dari biasanya seperti pada kehidupan di kota, suasana yang sunyi hingga fasilitas pertolongan umum yang tidak tersedia. Dengan demikian, manusia dengan sendirinya dituntut untuk bisa beradaptasi dan bertahan hidup di alam liar.

Sebagian orang mungkin menolak pemikiran-pemikiran tersebut dengan adanya peralatan pendakian yang kini semakin modern dan adanya fasilitas pendakian yang memadai di beberapa gunung yang ada di Indonesia. Namun pada kenyataannya, alam tetap lah alam yang memiliki sifat liar dan selalu menyimpan kejutan bagi manusia atau mungkin manusia lah yang kini hidup terlampau jauh dan memisahkan diri dari kehidupan yang semestinya sebagai sebuah kesatuan kehidupan yang menyeluruh. Kegiatan pendakian gunung hingga kini menunjukan peningkatan yang sangat signifikan. Hal tersebut terbukti dengan ramainya objek wisata pendakian hampir disetiap gunung-gunung yang ada di Indonesia (terutama pulau Jawa).



Hasil Observasi di Taman Nasional Gede-Pangrango
Picture From Google Image
Gunung Gede-Pangrango yang berada dalam pengawasan Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP) merupakan wilayah observasi kami dalam melakukan penelitian ini. Pemilihan objek penelitian ini atas dasar pertimbangan jarak yang lebih dekat dengan tempat tinggal peneliti, akses yang mudah serta memadainya objek penelitian disana. Untuk masuk kedalam wilayah Taman Nasional Gede-Pangrango diperlukan izin berbentuk SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) dengan biaya yang telah tertera. Persyaratan yang dibutuhkan untung masuk kedalam wilayah konservasi ini sangat ketat dan tergolong terbaik didalam urusan manajemen pendakian di seluruh Taman Nasional yang ada di Indonesia.

Namun pada kenyataannya, masih banyak pengurus nakal yang membiarkan wisatawan masuk tanpa izin dengan meminta pungli yang nominalnya diatas harga tiket normal sehingga jumlah pengunjung dapat meningkat melebihi batas quota pendaki yang sudah ditetapkan oleh TNGP itu sendiri dan sayangnya hal tersebut masih dibiarkan begitu saja tanpa adanya tindakan pencegahan yang kongkrit. Dengan adanya pendaki liar yang tidak terdata (bahkan lebih banyak daripada pendaki resmi, karena pengurusan izin yang sulit), resiko kerusakan alamnya pun lebih besar karena banyak pendaki yang berada diluar pengawasan petugas. Lagi-lagi urusan finansial lebih diutamakan daripada kelestarian wilayah konservasi itu sendiri dan alamnya yang menanggung akibat atas tindakan yang dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab.
Picture From Google Image















Jalur pendakian resmi di Taman Nasional Gede-Pangrango terbagi menjadi 3 yaitu; Via Cibodas, Gunung Putri dan Salabintana. Kuota pendaki pun berbeda-beda, diantaranya Cibodas 300 pendaki perharinya, Gunung Putri 200 pendaki, dan Salabintana 100 pendaki perharinya. Jumlah tersebut belum termasuk pendaki ilegal yang jumlahnya diperkirakan bisa mencapai jumlah 2 kali lipatnya dari kuota keseluruhan (600 pendaki) yang telah ditetapkan oleh TNGP.

Masalah yang Dihadapi oleh Alam Akibat dari Tingkah Laku Pendaki
  • Sampah
Sampah merupakan masalah klasik disetiap wilayah antroposentris, tak terkecuali di wilayah konservasi terutama di TNGP itu sendiri walaupun dari pihak TNGP sudah memberikan peringatan bahwa sampah yang dihasilkan oleh pendaki harus dibawa turun kembali sampai ke basecamp pendakian. Namun pada kenyataannya, masih banyak sampah yang bertebaran dimana-mana dan lebih parahnya lagi, sampah yang dihasilkan pendaki biasanya adalah sampah plastik yang cenderung sangat sulit terurai oleh tanah. Disepanjang jalur pendakian, akan sangat sangat mudah menemukan bungkus permen, madurasa, tolak angin, puntung rokok, tisu bahkan botol air mineral plastik dan masih banyak lagi. Pemandangan sampah yg lebih ironi akan kita lihat di setiap pos-pos pendakian yang mana digunakan pendaki untuk beristirahat selama perjalanan pedakian. Hal tersebut diperparah oleh banyaknya pedagang yang mayoritas adalah warga sekitar menjajakan minuman hangat, rokok dan lain-lain sehingga sampah yang dihasilkan bertambah banyak dan menumpuk. Kesadaran atas kebersihan lingkungan menjadi masalah utama dalam hal ini. Banyak pendaki yang tidak peduli dengan banyaknya sampah yang semakin menumpuk dan hanya mempedulikan segi kenyamanan pribadi saja
  • Pembukaan lahan camping baru
Pembukaan lahan camping baru ini biasanya dilakukan oleh para pendaki semata-mata hanya untuk mendapatkan pemandangan yang bagus dan posisi ideal dalam mendirikan tenda dalam sebuah camping ground. Dampaknya, banyak tumbuhan yang mati akibat terinjak-injak oleh pendaki yang menetap disana. Biasanya hal ini terjadi ketika lahan untuk mendirikan tenda sudah penuh akibat membludaknya jumlah pendaki.
  • Aktivitas perapian
Membuat Perapian atau yang akrab dengan sebutan api unggun pada umumnya berfungsi sebagai penghangat, sebagai penerangan, sebagai sarana untuk mengusir binatang buas ataupun untuk memasak. Membuat api unggun sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dilakukan dalam aktivitas mountaineering, namun dampak dan resiko yang ditimbulkan harus benar-benar diperhatikan seperti rusaknya tanaman, terganggunya kesuburan tanah, polusi udara hingga rawannya terjadi kebakaran hutan jika lokasi api dekat dengan tumbuhan kering yang mudah terbakar. Oleh karena itu, untuk membuat api unggun kita harus paham dengan lokasi sekitar, teknik perapian hingga pengatasan masalah ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena hal kecil pun akan berdampak sangat besar ketika kita tidak menyadari bahaya yang akan terjadi.
  • Vandalisme
Tak hanya terlihat di kota, aksi vandalisme juga dapat ditemukan dalam aktifitas pendakian gunung. Hal tersebut biasanya dapat kita temukan di trek pendakian ataupun di puncak gunung dengan batu besar ataupun bangunan sebagai medianya. Aksi vandalisme mungkin dilakukan oleh sekalangan pendaki untuk menunjukan eksistensinya yang justru berdampak provokatif dan akhirnya banyak kelompok yang meniru hal negatif ini.
  • Pengrusakan tanaman
Pada umumnya, aktifitas pengrusakan tanaman ini tidak disadari oleh para pendaki sehingga mereka menganggap sebagai suatu hal yang wajar, seperti menarik-narik batang pohon disepanjang jalur pendakian, pemotongan batang untuk dijadikan tongkat sebagai alat bantu mendaki ataupun sebagai tiang penyangga tenda, pencabutan paksa tanaman sebagai alas tenda agar lebih lunak dan nyaman ataupun untuk bahan perapian untuk membuat api unggun. 

Deskripsi Naratif Hasil Wawancara Dengan Pendaki Gunung Gede-Pangrango
Pada proses penelitian, kami melakukan wawancara dengan 4 responden yang merupakan pendaki yang berada dilokasi camping,
Responden 1
Nama : M. Randi Paisal
Asal : Sukabumi
Umur : 15 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki

Responden 2
Nama : Vita Oktaviani
Asal : Sukabumi
Umur : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan

Responden 3
Nama : Djohan
Asal : Cikarang
Umur : 32 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki

Responden 4
Nama : Iswanto
Asal : Bekasi
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki

Berikut adalah deskripsi naratif jawaban peserta dari hasil wawancara yang telah kami lakukan;
Ketertarikan pendaki untuk membaca peraturan pendakian sejauh yang diamati oleh kami masih kurang karang tidak mencapai angka 75% pendaki yang membaca peraturan pendakian tersebut dengan baik dan benar, sebagian besar pendaki pun menganggap peraturan pendakian sebagai suatu yang berlebihan untuk dilaksanakan, hal tersebut berarti kebanyakan pendaki cenderung untuk tidak mengindahkan peraturan yang di buat oleh Taman Nasional sebagai wilayah konservasi alam. Bahkan, rata-rata pendaki yang kami tanya pun masih mengeluhkan harga tiket yang mahal yang sebenarnya diperlukan untuk kepentingan konservasi juga. Dari harga tiket tersebut, pendaki menanggap bahwa harga mahal yang telah dibayarkan membuat pola pikir pendaki jadi semakin diskriminatif terhadap alam. Sampah yang dihasilkan pendaki pun tidak sedikit dan tersebar dimana-mana, hal tersebut terbukti dalam observasi lapangan yang kami lakukan, banyak sampah bertebaran di sepanjang jalur pendakian maupun di area camping.

Berbagai tanggapan pendaki terhadap manajemen sampah pun berbeda-beda, banyak diantaranya yang masih mempunyai kebiasaan untuk membuang sampah sembarang, terutama sampah yang berbentuk kecil yang cenderung malas untuk dikumpulkan. Penyelesaian akan sampah ini pun beragam, ada yang dikumpulkan untuk dibawa turun (sebagaimana mestinya dan diharuskan oleh petugas Taman Nasional), namun masih banyak juga pendaki yang memilih untuk membakar sampahnya di area camping dengan tujuan mengurangi beban saat turun dari gunung, hal ini lah yang dapat membahayakan kelestarian alam mulai dari polusi udara yang ditimbulkan sampai resiko terjadinya kebakaran hutan. Berbicara tentang sampah yang dihasilkan pendaki, kita akan melihat bahwa pada kenyataannya hampir keseluruhan sampah yang dihasilkan oleh pendaki merupakan sampah plastik yang cenderung sulit untuk terurai di tanah. Dapat kita bayangkan jika sampah tersebut terus bertambah dan menumpuk didalam wilayah konservasi, kita tak perlu menunggu lama untuk melihat hutan di area pegunungan penuh dengan sampah.

Kepedulian pendaki akan pentingnya menjaga kebersihan diwilayah konservasi ini pun kurang, banyak diantaranya tidak melakukan tindakan langsung ketika pendaki tersebut melihat sampah. Bahkan, ketika melihat pendaki lain tertangkap tangan membuang sampah sembarangan, kebanyakan dari mereka hanya bersimpati saja tanpa melakukan tindakan pencegahan agar pendaki yang membuang sampah sembarangan tersebut urung dan merasa malu untuk membuang sampah sembarangan. Namun ketika peristiwa tidak terpuji tersebut tidak mendapatkan respon yang benar, tindakan membuang sampah sembarangan bisa menjadi tindakan provokatif yang mendatangkan pola pikir kepada pendaki lainnya bahwa “membuang sampah di area pendakian merupakan suatu hal yang sudah diwajarkan”.

Dalam hal keselamatan pun pendaki masih dirasa kurang untuk mempersiapkan peralatan pendakian sebagai mana mestinya, hal ini mencerminkan bahwa manusia modern cenderung bertingkah laku ceroboh dan menganggap alam sebagai sebuah objek yang jinak dan dapat dimanipulasi. Namun, ketika bahaya datang para pendakilah yang menanggung akibatnya sendiri, kita harus sadar bahwa manusia dan alam hidup secara terpisah dan manusia pun perlu menyesuaikan diri dengan alam.

Dalam era digitalisasi yang semakin modern ini, tujuan mendaki gunung pun menjadi bervariasi, salah satunya adalah berburu foto dengan latar belakang keindahan alam. Namun, alam merupakan sesuatu yang tidak dapat ditebak kondisinya tanpa adanya wawasan yang memungkinkan untuk memprediksi, kekecewaan akan menghampiri pendaki ketika cuaca di area pendakian gunung sedang tidak baik. Dalam kondisi seperti ini, manusia cenderung mendiskriminasi alam sebagai bentuk kekecewaan yang terjadi diluar pemikiran manusia itu sendiri.
Kesimpulan yang Didapat dari Hasil Observasi

Dalam pembahasan soal lingkungan hidup, kita akan menyentuh seluruh aspek kehidupan yang ada di dunia ini. Dalam pembahasan soal pelestarian lingkungan hidup, kita akan berbenturan pada pandangan antroposentris yang sejatinya merupakan bagian dari peradaban manusia sebagai rekam jejak dari perkembangan zaman. Manusia cenderung menganggap alam sebagai non­-sentient being ­sehingga muncul hasrat untung mengekspoiltasi  tanpa mempertimbangkan moral kehidupan. Cara pandang antroposentris yang cenderung desktruktif tersebut akan memuncak dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sejatinya diperuntukan untuk mementingkan kepentingan manusia dan cenderung menyudutkan alam yangmana pada kenyataannya mempunyai hak untuk tetap hidup dan lestari.
Pada observasi yang telah dilakukan, kita dapat melihat bahwa alam pada kenyataannya memang membutuhkan perhatian lebih dari manusia sebagai agen moral yang mampu merubah arah kehidupan. Krisis kehidupan yang muncul akibat rusaknya lingkungan hidup yang belakangan ini meningkat secara signifikan merupakan hasil kumulatif dari budaya antroposentris. Mentalitas dan cara pandang kita dalam melihat alam sebagai objek yang penuh dengan kepentingan dan peluang yang menguntungkan cenderung akan berdampak terhadap kehidupan yang akan datang. Dalam pandangan seorang filsuf & aktivis lingkungan hidup Arne Naess, kehidupan didunia ini terbentuk dari kesatuan ekosistem yang saling berhubungan satu sama lain. Roda kehidupan akan terus berjalan ketika seluruh makhluk hidup menciptakan perannya masing-masing tanpa adanya tindakan destruktif dari makhluk hidup yang lainnya. Namun pada kenyataannya, hal tersebut akan sulit untuk diindahkan oleh manusia yang hidup dalam kebudayaan antroposentris tersebut.

Picture From Google Image
Dalam kacamata dunia parawisata, kita dapat melihat representasi dari sikap manusia yang cenderung mendominasi alam. Bahkan, pembukaan lahan wisata alam pun dapat dikatakan sebagai langkah eksploitatif manusia untuk mendapatkan keuntungan finansial semata. Bukan bermaksud menyudutkan manusia sebagai makhluk yang berbahaya terlepas dari peranannya sebagai penggerak kehidupan, ada baiknya kita kembali untuk melihat mentalitas manusia yang hingga kini cenderung antroposentristik. Didalam teori Deep ecology, pemikiran manusia bergerak dalam tiga tataran kesadaran yang membentuk suatu pola dan melahirkan sebuah keyakinan. Pengalaman (Deep experience) merupakan tahap pertama dimana manusia akan menangkap pergerakan kehidupan alam semesta lalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam (deep experience) terhadap eksistensi dari kehidupan manusia dengan kehidupan alam semesta, dan setiap dari jawaban dari pertanyaan tersebut akan memunculkan komitmen (deep commitment) mengenai pentingnya keseimbangan dan kelestarian alam untuk keberlangsungan kehidupan didunia ini.

Refleksi kritis
Berkegiatan di alam liar merupakan sebuah usaha manusia untuk kembali menyatu kedalam kehidupan seutuhnya (diluar kehidupan dikota yang penuh dengan kepentingan manusia). Namun, tidak semua manusia mempunyai pikiran  yang benar dalam memandang alam sebagai komunitas kehidupan yang juga memiliki hak hidup. Hal tersebut merupakan gejala antroposentris yang muncul dalam observasi yang kami lakukan, butuh perubahan mental dan pemahaman relasi antara manusia dengan alam, karena jika hal ini terus berlangsung, dominasi manusia terhadap alam akan terus berkelanjutan hingga akhirnya kita baru menyadari pentingnya kehidupan alam setelah keseluruhan alam tersebut punah. Kerusakan alam yang terjadi atas nama parawisata, pembangunan, kemajuan ekonomi ataupun perkembangan ilmu pengetahuan dapat dihentikan apabila ada perubahan mental dalam setiap manusia. Cara kita memandang alam tidak bisa lagi menempatkannya sebagai objek yang bisa dieksploitasi manusia. Menjaga alam merupakan menjaga keberlangsungan kehidupan manusia yang memungkin manusia tidak mati kelaparan dan kehausaan. Sebagai pemberi kehidupan, manusia harus hormati alam dengan tidak mengurasnya habis-habisan dan berbalik menjadi awal kepunahan manusia. Alam dan manusia harus hidup berdampingan dan memperlakukannya sama-sama sebagai anggota komunitas yang salah satu kepentingannya tidak boleh saling ditiadakan agar krisis lingkungan hidup tidak terus berkelanjutan.

Picture From Google Image
Journey Your Indonesia !

No comments